IMAJI NISBI
Dia berbeda. Jika pria lain
lebih suka mengajak ke Dufan atau pergi
nonton di 21, ia lebih suka mencuri waktuku dan membawaku ke tempat indah yang
kukira selama ini hanya khayalan.
Daritadi ia
berjalan di depanku, memimpinku menapaki jalan setapak berbatu. Kanan-kirinya
berhias semak-semak dan pepohonan. Selama berjalan itu aku tak fokus pada
jalan. Mataku menggerayangi lingkungan sekitar. Pepohonan yang berdiri lumayan
rapat, membuat sinar matahari terpaksa menerobos melalui dedaunannya.
Suasana yang
senyap membuat bulu kudukku berdiri. Rasa takut mulai menyelimuti dan kakiku
telah berkali-kali tersandung bebatuan. Tapi kulihat Bian tetap tenang
melangkah jauh didepanku.
Nafasku mulai
tersenggal-senggal. Padahal baru 10 menit kami berjalan. Tapi semakin lama
jalan semakin tinggi. Aku berhenti sejenak dan mulai menyusul Bian lagi.
Setelah berhasil menyusulnya, aku langsung terduduk, tak peduli celanaku
langsung bersentuhan dengan tanah.
“Capek Bi,
capek,” kataku tersenggal-senggal. Bian hanya diam memandangi jurang yang ada
di depan kami. Mataku ikut memandangi jurang itu. Jurang yang terdiri dari
tebing-tebing menawan. Di depannya berbaris bukit-bukit hijau yang berkaki
hamparan sawah hijau dan kuning.
Sejenak
lelahku hilang dan aku mulai berdiri untuk membentangkan tanganku di tepian.
Kupejamkan mataku dan kuhirup udara sejuk itu dalam-dalam. Segenap masalahku
dan energi negatif seakan ikut hilang saat aku menghembuskan nafas.
“Subhanallah,
bagus banget ini Bi!” teriakku penuh dengan bunga-bunga di hati.
Bian hanya
tersenyum. Ikut senang melihatku senang.
“Haduh ini
dimana Bi? Bandung daerah mana??” tanyaku memberondong Bian.
“Tak perlu
kamu tau dimana, yang penting kamu sudah disini,” jawabnya.
“Ah iya!
Indah banget disini!” aku termakan omongan Bian yang tak mau memberitahuku nama
daerah yang kupijaki ini. Aku kembali terpukau oleh hamparan sawah
berwarna-warni yang terbelah aliran sungai jernih yang memantulkan cahaya
matahari.
“Daripada
pergi nonton atau ke tempat rame, mending disini kan mengagumi ciptaan Sang
Ilahi, “ kata Bian membuyarkan keterpesonaanku.
“Tapi kamu
curang!” Alis Bian langsung terangkat dan dahinya berkerut-kerut saat kutuduh
begitu. “Harusnya kamu bilang mau ngajak aku ke tempat seindah ini! Tau gini
kan aku bawa kamera!” aku pura-pura ngambek. Tapi Bian hanya tertawa.
Menyebalkan sekali! Memang beda.
“Biasanya kan
kamu selalu bawa kamera Cha,” katanya kemudian.
“Kan tadi aku
pikir kita mau nonton. Kalau nonton kan gak boleh bawa kamera Bi,”
“Kan kamu
tahu sendiri kalau aku gak suka tempat rame?”
Benar juga
sih! Sialan! Aku yang pilon ternyata! Kasian kameraku stay at home alone. Tak dapat membingkai view seindah ini.
“Huh! Aku
pengen foto Bi!!” teriakku kesal. Maklumlah aku tergolong anak yang narsis.
Dikit-dikit foto, sama pohon foto, sama kucing foto, sama pak satpam foto, sama
foto juga foto.
“Biarkan
momen ini hanya terlukis dihati dan pikiranmu Cha,” katanya pelan tapi cukup
mengalihkan perhatianku kepadanya.
“Kenapa?”
reflek aku bertanya.
Bian hanya
diam saja. Aku sadar pertanyaan yang hanya terdiri dari satu kata itu salah. Ya
ampun! Lagi-lagi aku pilon!
Aku dan Bian
hanya teman. Teman dekat. Namun kedekatan kita hanya melalui dunia maya dan
dibelakang teman-teman sekolah. Bukan karena aku telah bersama Tomi, tapi karena
ia pemalu dan pendiam. Pernah suatu kali salah satu teman kami membaca smsku di ponsel Bian, dan tersebarlah
gosip yang aneh-aneh. Aku pun harus menjelaskan yang sebenarnya pada Tomi.
Untungnya Tomi mempercayaiku namun hubungan baikku dengan Bian mulai merapuh.
Seiring
berjalannya waktu, kami mulai dekat kembali dan harus ‘menjaga’ hubungan baik
itu dari teman-teman sekolah.
“Maaf Bi, aku
tahu kamu gak suka digosipin kayak waktu itu..” kataku.
Bian
tersenyum,” Tidak semua kenangan itu harus diabadikan Cha.”
“Iya Bi iya,
maaf ya. Aku juga gak suka digosipin kok. Lagian sapa sih yang suka? Emangnya
artis?” aku mengambil nafas sejenak, “Apalagi posisiku sama Tomi. Pasti mereka
ngiranya aku selingkuh sama kamu.”
“Sudahlah
Cha, tak usah dipikirkan omongan orang lain yang membuatmu hancur. Yang
terpenting kamu gak seperti yang mereka bilang,” Bian menenangkanku. Aku
tersenyum. Dia memang berbeda. Dia sahabat yang benar-benar bisa mengerti
keadaanku.
“Aku senang
berteman denganmu Cha,” ucapnya kemudian.
“Aku juga Bi.
Makasih ya kamu selama ini ada buat aku.”
Kami terdiam
beberapa saat. Kemudian Bian berdeham-deham, tapi pikiranku terlalu sibuk
memikirkan nasibku yang entah bagaimana rasanya ini.
“Ngomong-ngomong
Tomi?” Bian kemudian bertanya.
“Dia yang
selingkuh,” aku tak sadar menjawabnya.
“Apa?!” Bian
kaget. Baru kali ini ia berkata keras, di dekat telingaku pula.
“Hah? Apa
Bi?” lamunanku buyar oleh kekagetannya.
“Katamu
tadi?” Bian masih tak percaya.
“Apaan sih?”
aku berharap yang kuucapkan tadi salah.
“Tomi
selingkuh?” tanya Bian lagi, memastikan.
Ternyata
ucapanku benar. Kubenamkan mukaku dalam lipatan tangan yang kutaruh diatas
lutut. Air mataku mulai menetes. Tangisku pecah. Dadaku sesak sekali. Sekalipun
aku berada di tempat sesejuk ini, aku kesulitan bernafas. Aku sesenggukan. Ciri
khas tangisku yang parah.
Tiba-tiba
kurasakan hangat pada pundakku. Bian merangkulku! Baru kali ini kami berkontak
fisik. Ia berusaha menenangkanku tapi tangisku malah semakin menjadi-jadi.
Tabahkan aku
Ya Allah!
“Sudah Cha
sudah, jangan dipikirkan,” Bian tetap menenangkanku.
“Dia belum
tahu kalau aku tahu dia selingkuh Bi,” ucapku terisak-isak.
“Lalu
darimana kamu tahu dia selingkuh?” tanya Bian.
“Kemarin aku
liat dia di coffee box sama cewek
Bi,” jelasku singkat.
“Adiknya
mungkin? Atau kakaknya? Atau malah tantenya? Mamanya? Posthink dulu dong Cha,” Bian terus menenangkanku.
“Cewek itu
Tina Bi..” aku reflek mengangkat mukaku dan melihat wajah Bian. Meyakinkan dia
bahwa Tomi benar-benar selingkuh. Dengan Tina, temanku sendiri.
Aku segera
mengusap air mataku yang membasahi seluruh wajah dan mencoba tetap tersenyum.
“Lalu
sekarang gimana?” tanyanya. Aku hanya menggelangkan kepala.
“Semua
terserahmu Cha. Saranku apapun tindakan yang kau ambil, pikirkan baik-baik dan
selesaikan dengan baik-baik juga. Jangan bawa emosi,”
Aku
mengangguk. Bukan hanya karena paham dengan ucapan Bian, tapi telah menemukan
tindakan yang harus aku pilih.
Selama ini
Tomi hanya mempermainkanku dengan menjadikanku kekasih semu dan kemudian
berkencan dengan sahabatku sendiri.
Dan selama
ini juga seharusnya aku sadar bahwa aku telah memiliki Bian yang selalu ada
untukku. Yang selalu membantuku, yang selalu menghiburku dan menemaniku.
Sekalipun tak ada hubungan spesial diantara kami, aku tak perlu lagi mencari
karena aku telah menemukannya, karena dia telah bersamaku sekarang.
“Pacaran itu
tak penting Cha, malah membuat kita rugi. Cukup selalu ada untuk menemani kita
dan memperhatikan kita dengan sewajarnya, “ aku terpaku mendengar ucapan Bian.
“Dan yang terpenting, Echa masih punya Allah. Dan Bian selalu ada buat Echa,”
lanjutnya liri