ELEGI DUA HATI
Oleh Sulissya Nur
Syafa’ati
Anggrek resto adalah
tujuan Tia dan Ary untuk candle light
dinner malam itu. Seperti namanya, banyak tergantung bunga anggrek di
setiap sudut restoran itu. Ditambah gemericik air yang terjatuh dari air terjun
buatan dan cahaya temaram dari lilin-lilin di setiap meja yang menambah suasana
hangat antara Tia dan Ary.
Selepas
makan malam, Ary berencana untuk mencarikan cincin pertunangan mereka yang
rencananya akan dilaksanakan bulan depan. Tapi melihat Tia yang daritadi sibuk
dengan BBnya, bahkan untuk memesan makanan pun ia meminta Ary dengan memesankan
makanan favoritnya, Ary curiga.
“Sayang?”
tanya Ary.
“Hmm?” respon Tia tanpa mengangkat
wajahnya dari layar BB.
“Nanti jadi
nyari cincin kan?” tanyanya lagi.
“Ya jadilah
sayang. Kalau gak jadi ya pertunangan kita juga gak jadi dong,” jawab Tia tapi
tetap sibuk dengan keypad di BBnya.
“Hmm,” Ary berpikir untuk bertanya
lagi. “Kamu sibuk ngapain sih?”
“Ini temen
kecilku,” jawab Tia sambil tersenyum.
“Cowok?” Ary
memberanikan diri.
“Bukanlah
sayang,” baru sekarang mata Tia melihat Ary dan digenggamnya tangan Ary dengan
sepenuh hati. Ary lega.
“Kamu sih
sibuk banget BBannya. Aku dicuekin,” kata Ary.
“Iya-iya
maaf. Soalnya dia ini temen kecil aku yang dulu pindah ke luar negeri. Nah
sekarang dia balik lagi kesini,” jelas Tia.
Pelayan
datang membawakan makanan mereka. Tanpa aba-aba
mereka mulai melahapnya sedikit demi sedikit. Dan Tia mulai bercerita
tentang teman kecilnya itu disela-sela makannya.
“Sudah,
habiskan dulu makananmu. Setelah itu kita cari cincin untuk pertunangan kita
dan bolehlah kamu cerita tentang dia lagi,” Ary tersenyum dan mencubit pipi
Tia.
“Aw,” Tia
tersenyum dan melanjutkan makannya.
“Sayang, ini
Viska,” kata Tia kepada Ary. Ary pun bersalaman dengan Viska, dan saling
memperkenalkan diri.
“Ary,” kata
Ary.
“Calon
tunanganku,” sambung Tia sambil tersenyum.
“Viska,”
sahut Viska.
“Sahabatku
yang paling baik,” Tia lalu merangkul Ary dan Viska sembari berjalan menuju
mobil.
“Kita kemana
sayang?” tanya Ary setelah duduk di depan kemudi.
“Ke rumah
belanda di dekat taman kota,” kata Tia sambil menutup pintu mobil.
“Wah, kita
dulu sering kesitu ya Ti,” kepala Viska melongok di antara kursi mobil depan,
karena dia duduk di kursi belakang sendirian.
“Iya. Dulu
kita masih TK. Lari-larian terus main petak umpet,” respon Tia. “Tempatnya
bagus yang buat foto, pra-wedding,”
Tia tersenyum kepada Ary.
“Oh iya? Aku
belum pernah kesana,” kata Ary.
“Bagus Ry
foto pra-wedding disana. Undangan
pernikahan kalian pasti bagus,” sambung Viska.
Mobil pun
terus melaju menuju rumah belanda.
Sesampainya
di rumah belanda, Tia langsung sibuk dengan kameranya dan mulai mencari
sudut-sudut yang indah dari rumah belanda itu tanpa mempedulikan Ary dan Viska
yang telah berada jauh di belakangnya.
Tia terus
memotret dan naik ke lantai dua sendiri. Dia tak menyadari bahwa Ary dan Viska
tetap berada di lantai satu.
Pemandangan
dari lantai dua jauh lebih indah dari lantai satu. Tia mulai sibuk memotret
lagi dari setiap sudut beranda yang menghadap ke halaman rumah belanda ini.
Cekrek!
Tia memencet
tombol shutter dan melihat hasil
jepretannya. Disana ada Ary dan Viska sedang tertawa bersama. Tia merasakan
kedekatan mereka yang cepat. Dan tanpa sadar Tia berlari ke bawah untuk
menghentikan canda tawa Ary dan Viska.
“Seru banget
nih kayaknya,” kata Tia.
“Eh sayang,
udah selesai motonya? Lihat, lihat,” Ary langsung merebut kamera dari tangan
Tia dan mulai melihat foto-fotonya.
“Aku moto
kalian dari atas sana tadi. Bagus hasilnya,” kata Tia sambil menunjuk tempat ia
memoto tadi. Hatinya sakit saat mengatakannya.
“Oh ya? Lihat
dong!” Viska langsung merebut kamera dari tangan Ary. Dan mulai memuji
keindahan foto itu.
“Habis ini
makan dimana?” tanya Ary pada Tia.
“Di rumah
aja. Males kemana-mana,” Tia lalu berjalan cepat menuju mobil. Ary mengikuti
dengan bingung. Dan Viska tetap melihat-lihat foto tanpa menangkap rasa sakit
hati Tia.
“Kenapa sih?”
tanya Ary setelah semua berada di mobil.
“Gak papa
kok. Pulang aja sekarang. Kepalaku tiba-tiba pusing.”
Ary pun
segera melaju ke rumah Tia.
“Ti, bagus
fotonya, nih,” Viska menyerahkan karema pada Tia. Tia menerima dengan
ogah-ogahan.
“Di foto tadi
kita cocok banget ya Ry,” kata Viska bermaksud menggoda Tia. Tia makin jengkel
dibuatnya. Ary melirik Tia dan tak menanggapi Viska.
“Beneran gak
makan siang diluar yang?” tanya Ary lagi sebelum Tia keluar dari mobil.
“Enggak,
kalok kamu mau, sama Viska aja sana,” Tia membanting pintu mobil lalu berlari
masuk menuju ke rumah sebelum Ary sempat untuk menyusulnya.
“Istirahat
yang!” teriak Ary dari mobil.
Blam!
Tapi Tia
sudah membanting pintu rumahnya.
Ary bingung
dengan Tia dan memutuskan untuk pulang saja, “Kamu gak turun Vis?” tanya Ary.
“Kukira kita
mau makan,” kata Viska lesu.
“Tia marah
Vis, masak aku malah makan sama kamu, berdua,” kata Ary ketus tanpa melihat
wajah Viska.
“Duh, Tia
emang suka gitu. Caper sama kamu. Ya udah kalok gak jadi makan,” Viska membuka
pintu mobil, ”Eh, tapi kapan-kapan jadi ya?”
Ary menoleh
lalu tersenyum baru Viska keluar dari mobil.
“Hallo
sayang? Jemput aku di kampus ya?” kata Tia dari telepon.
Ary ingin
segera ke kampus dan menjemput kekasihnya itu, tapi dia sudah terlanjur ada
janji lunch bersama Viska. Dan dia
sekarang sudah berada di kursi depan mobil Ary, tempat Tia biasa duduk.
Tia mendengar
jawaban Ary yang tidak dapat menjemputnya dengan tidak adanya rasa heran. Tia
pun memutuskan pulang dengan taxi dan
mampir beli cupcake keju di toko roti
dahulu.
Taxi yang dinaiki Tia
berhenti di depan rumah Viska. Setelah membayar, Tia turun dan mulai mengetuk
pintu rumah Viska itu. Tapi tak ada jawaban. Tak ada sahutan. Dengan lemas Tia
berjalan menuju rumahnya yang berada di seberang rumah Viska sambil memandangi cupcake keju kesukaan Viska.
Sejam
berlalu. Tia mendengar suara mobil berhenti di depan rumah Viska dan tawa Viska
yang renyah. Dengan cepat Tia segera keluar rumah untuk memberi cupcake keju kepada Viska. Tapi
dilihatnya Viska sedang berpamitan dengan pemilik mobil dengan mengecup pipi.
“Ary..” suara
Tia ternyata lebih keras dari yang ia duga.
Sang pemilik
nama menyadarinya. Cupcake keju yang
digenggam Tia jatuh dari tangannya. Kedua pasang mata itu menatap Tia dengan
diam dan kebingungan. Tia berharap sang pemilik nama segera datang untuk
menjelaskan semua kebohongan itu. Namun ia malah pergi dan Viska segera masuk
rumahnya tanpa ada kata.
Seminggu
berlalu. Dan minggu depan adalah hari pertunangannya dengan Ary. Seminggu itu
Tia tak masuk kampus sama sekali. Hanya berdiam diri di rumah dengan dandanan
siap masuk ke rumah sakit jiwa. Tak makan, tak mandi, tak minum, tak tidur.
Semua organ tubuhnya seperti telah mati, seiring dengan gemuruh hujan yang
melanda hatinya. Rambutnya acak-acakkan tak pernah disisir. Baju yang
dipakainya sekarang juga tetap baju yang dipakainya saat dia melihat Ary dan
Viska seminggu yang lalu.
Selama itu
Tia hanya duduk melingkarkan tangan pada kedua lututnya sambil menggumamkan
nama Ary dan memikirkan pertunangan yang tak mungkin terjadi itu. Tia tahu
bahwa Ary lebih memilih Viska daripada dia. Hanya saja, dia tak siap menghadapi
semuanya.
Ary yang
selama ini menemani hari-harinya, sekarang pergi begitu saja tanpa penjelasan
apa-apa. Tia harus menghadapi kenyataan itu dengan sakit yang teramat dalam.
Sebenarnya
dia malu dengan kondisinya yang sekarang. Harusnya ia kuat menghadapi segala
kenyataan. Cukup dia yang tahu bahwa ia begitu rapuh dengan kepergian Ary.
Tiba-tiba
terdengar suara ketukan dari pintu rumah Tia.
Setelah
menghapus air matanya dan merapikan rambutnya dengan ala kadarnya, ia
segera membuka pintu.
Betapa
terkejutnya Tia setelah tahu siapa yang datang mengunjunginya. Ia adalah
sahabat yang dulu sangat disayanginya namun sekarang ia menjadi orang yang
paling ia benci.
Tia merapikan
rambutnya lagi lalu mengajak Viska masuk dan duduk di sofa. Tia tak ingin
menunjukkan rasa bencinya terhadap sahabatnya itu.
“Ti, aku
ingin berkata sesuatu,” kata Viska dengan gugup. Ia begitu kaget dengan
penampilan Tia sekarang. Dan kondisi rumahnya yang terlihat kotor dan tak
tertata rapi. Viska merasa, bahwa Tia yang di depannya bukanlah Tia yang ia
kenal.
“Sebentar,
kamu duduk dulu ya. Biar aku mengambilkan minum untukmu,” kata Tia lalu
berbalik menuju ke dapur.
Kata-kata Tia
itu yang meyakinkan Viska bahwa Tia tetaplah Tia di dalam dirinya itu.
Sekalipun penampilannya bukan menunjukkan ke’Tia’an,
namun kebaikkan Tia tetap terpancar.
Viska segera
menarik tangan Tia dan mengisyaratkan untuk duduk sebelum Tia benar-benar
beranjak menuju dapur.
“Aku hanya
sebentar Ti, aku hanya ingin berkata sesuatu padamu,” kata Viska.
“Baiklah
kalau itu maumu,” Tia tersenyum, namun hatinya bergemuruh menahan sakit.
Viska
mengambil tissue dari kotaknya di
meja. Dipilin-pilinnya tissue itu
hingga menjadi gulungan kecil. Bibirnya tiba-tiba beku, tak sanggup
berkata-kata. Kakinya bergerak terus, tak dapat diam. Hatinya menahan sesak.
Dipandangnnya wajah Tia yang sedang menunggunya berkata. Ada raut kesedihan
disana, namun tertutupi oleh senyuman tipis di bibirnya.
Air mata
Viska tiba-tiba pecah. Diraihnya tubuh Tia lalu direngkuhnya. Tia membalas
pelukan itu dan matanya turut berkaca-kaca. “Kamu sahabat terbaikku Ti, tapi
maafkan aku Ti.. Maaf..” kata Viska kemudian.
Air mata Tia
ikut pecah. Keduanya berlinangan air mata.
“Aku tau
seharusnya aku tak memiliki rasa ini. Aku sahabat yang paling jahat Ti, maafkan
aku. Aku memang pantas kau benci,” kata Viska masih di sela isak tangisnya.
Tangan Tia mengelus-elus punggung Viska untuk menenangkannya. Padahal Tia juga
butuh untuk ditenangkan.
“Sudahlah
Vis, semuanya sudah terjadi,” kata Tia.
“Tapi aku
mencintai kekasihmu Ti..” Viska melepas pelukannya lalu menggenggam erat tangan
Tia yang penuh dengan keringat. “Aku mencintainya dan dia juga Ti..” lanjut
Viska.
Tia kaget
sekalipun sebenarnya ia sudah tahu. Dilepasnya genggaman tangannya dari tangan
Viska. Ditatapnya mata Viska dengan air mata yang tak terbendung, ”Dia?” Tia
tak sanggup berkata-kata. Ia terlalu lemah menghadapi semuanya.
Viska diam,
menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia tak sanggup melihat Tia dalam belenggu
kesedihan.
“Menyedihkan
sekali ya, ternyata kekasihku selingkuh dengan sahabat terbaikku sendiri,” kata
Tia dengan nada menghibur. Disekanya air matanya dan mulai tersenyum. Namun air
mata itu tetap keluar, tak dapat berhenti.
“Maafkan aku
Ti.. Maaf.. Tapi aku tak dapat berbohong bahwa aku ingin bersamanya..” kata
Viska.
Tia diam.
Disekanya air matanya lagi dan menarik nafas dalam-dalam. Berusaha untuk
menenangkan dirinya dan berusaha tegar.
“Kalau memang
dia juga mencintaimu, maka aku rela melepaskannya untukmu..” kata Tia berusaha
untuk tetap tersenyum.
“Maafkan aku
Ti..” kata Viska kemudian keluar dari rumah Tia. Tak sanggup melihat wajah Tia
yang dipenuhi senyuman dan air mata.
Ary, mungkin ini pesan terakhirku
Aku hanya ingin bertemu denganmu
Dan mungkin ini pertemuan terakhir kita
Jadi kumohon agar kamu datang ke rumahku
malam ini
Tia memencet
tombol send setelah mengetik sms itu
untuk Ary, yang entah masih bisa disebut kekasihnya lagi atau tidak. Hatinya
sedikit lega. Sekarang dia hanya perlu bersiap-siap untuk menemui Ary. Entah
Ary akan datang atau tidak, dia akan tetap bersiap-siap. Jika memang semua ini
harus berakhir, ia ingin semua ini berakhir dengan baik.
Dua jam telah
berlalu. Sekarang Tia sudah siap untuk menemui Ary. Ia memakai dress cream kesukaannya yang Ary juga
menyukainya setelah ia membasuh diri dengan lulur selama berjam-jam,
menggantikan waktu mandinya selama seminggu ini. Wajahnya disaput bedak tipis
dan ditambah lipstik pink tipis untuk
mempercantiknya.
Daritadi ia menahan
agar tidak membuat dandanannya luntur. Semerbak wangi tercium dari tubuhnya.
Tidak terlalu tajam, namun cukup harum dan menyegarkan. Ia pun telah menyiapkan
dua gelas sirup melon kesukaan Ary di meja dapur. Agar saat Ary datang ia hanya
tinggal mengambilnya. Ia menunggu dengan tenang di ruang tamu. Sesekali ia
menyisir rambutnya dengan tangan dan mengecek penampilannya melalui kaca di
lemari pembatas ruangan.
Kali ini, ia
hanya berharap Ary datang. Dan ia dengan tegar menghadapi semua, apapun yang
dikatakan Ary nantinya.
Dengan sabar
Tia menanti kedatangan Ary. Diliriknya jam dinding di ruang tamu yang
menunjukkan pukul 8 malam. Tia hanya berharap Ary datang. Dan ia yakin bahwa
Ary akan datang.
Tia mengantuk
dan mulai ketiduran ketika didengarnya suara ketukan dari pintu rumahnya. Ia
segera bangkit dan mengecek penampilannya sebentar sebelum membukakan pintu.
Senyuman
lebar telah Tia suguhkan saat menyambut tamu yang datang itu. Dipersilahkannya
Ary duduk dan Tia izin untuk mengambilkan minum.
Keringat Ary
bercucuran dengan deras dari dahinya. Ia melihat sosok Tia yang tegar dan ia
tak sanggup menyakitinya sekalipun ia telah mengkhianatinya.
Tia datang
dan meletakkan minuman di meja. Kemudian ia ikut duduk, siap mendengarkan
penjelasan Ary. Tapi Ary diam saja. Tia pun memutuskan untuk memulainnya terlebih
dahulu.
“Aku senang
melihat sahabatku senang. Namun disisi lain aku juga sedih karena aku harus
kehilangan kekasihku.”
Ary tetap
diam. Ia tak tau harus berkata apa pada Tia.
“Ary, aku tau
ini tak mungkin berlanjut lagi. Aku sudah siap dengan semuanya. Aku hanya ingin
mendengar penjelasan darimu, sekali pun semuanya sudah jelas bagiku.”
Ary tetap
diam. Ia mainkan jemari-jemarinya. Keringatnya semakin banyak bercucuran.
“Ary, apakah
yang dikatakan Viska benar?” tanya Tia akhirnya. Memancing Ary untuk berkata.
“Memangnya
dia berkata apa?” Ary balik bertanya.
“Kamu bersama
dia. Apakah itu benar?” Tia langsung to
the point.
Ary semakin
diam. Membatu. Membisu.
“Ary aku tak
akan marah. Aku pun tak akan menyesal telah mengenalkan Viska padamu. Atau pun
menyesali kenangan-kenangan yang telah kita buat selama ini. Saat masa-masa SMA
kita, masa-masa kita pertama dekat, saat kita mengunjungi panti asuhan bersama,
mencari dana sosial di jalanan, jalan-jalan sore di taman, makan bersama, dan
masih banyak kenangan indah lainnya. Aku juga tak menyesali pertemuan kita yang
telah menciptakan hubungan sejauh ini. Aku hanya ingin mengakhirinya dengan
baik. Karena aku mengenalmu sebagai orang baik,” Ary yang tak dapat
berkata-kata tiba-tiba menggenggam tangan Tia. Dilihatnya mata yang mulai
berkaca-kaca itu. “Aku mengawali semuanya dengan baik. Aku pun ingin
mengakhirinya dengan baik pula,” lanjut Tia, juga menatap mata Ary.
Tia melepas
genggaman tangannya. Lalu ia berdiri dan berjalan menuju jendela. Wajahnya tak
cukup kuat lagi menahan rasa sakit yang ia rasakan. Tia tak ingin Ary melihat
air matanya. Yang Tia ingin Ary tahu bahwa Tia tegar menghadapi semuanya. Bukan
karena Tia tak mencintai Ary, namun ia pikir lebih baik ia yang mengalah agar
tidak menimbulkan masalah baru.
“Dan jika
memang kau ingin meninggalkanku, tinggalkan aku dengan baik.”
Ary
menghembuskan nafas dengan berat. Tia tetap menghadap jendela, tak sanggup
menatap Ary. Jemarinya yang basah menggenggam erat jeruji-jeruji jendela.
“Tia maafkan
aku. Aku tahu yang kau rasakan saat ini sangat menyakitkan. Selama ini aku tak
mengejar kecantikan, kekayaan, kepintaran atau yang sebagainya. Aku hanya
mengikuti kata hatiku. Selama ini aku lalui semuanya dengan indah bersamamu.
Dan aku yakin bahwa aku tercipta untukmu dan kamu tercipta untukku. Namun
setelah pertemuan dengan Viska, hatiku berkata lain..”
Air mata Tia
menetes deras. Ia masih menghadap halaman rumahnya melalui jeruji-jeruji
jendela.
“Dari awal
aku tak menyalahkan apa pun. Mungkin ini memang rencana Allah yang terindah.
Aku sangat yakin dengan itu,” kata Tia berusaha agar suaranya tak terdengar
bergetar.
Ary
mengeluarkan kotak kecil dari sakunya dan memainkannya, memutar-mutarnya dengan
jemari-jemarinya.
“Ary,”
panggil Tia sambil mengusap air mata. Tentunya tetap menghadap jendela. Ia tak
sanggup, sungguh tak sanggup untuk memandang wajah lelaki yang sangat
dicintainya itu.
Ary tetap
memainkan kotak kecil di tangannya. Wajahnya menunduk.
“Aku sangat
mencintaimu. Oleh karena itu, aku rela melepasmu dengan sahabat terbaikku
daripada kau tetap bersamaku namun hatimu bersama orang lain. Aku hanya ingin
berpesan padamu dan tolong berjanjilah padaku. Jagalah Viska dan jangan pernah
khianati dia. Cukup aku wanita yang pernah kau sakiti, yang pernah kau
khianati..” lanjut Tia tetap menghadap jendela, tetap dengan linangan air mata
di pipinya.
Ary
menghembuskan nafas dahulu sebelum menjawab, “Iya Tia. Aku berjanji atas nama
Allah dan untukmu. Maafkan aku karena aku ingin bersamanya. Dan maafkan aku
karena aku telah menyakitimu, telah mengkhianatimu,” Ary meletakkan kotak kecil
yang ternyata cincin pertunangannya itu di meja dan beranjak pergi dari rumah
Tia.
Tia yang
masih menghadap jendela memejamkan matanya. Ia tak ingin melihat orang yang
begitu ia cintai pergi meinggalkannya. Pipinya telah basah, sebasah rumput
hijau di halaman rumahnya yang tersiram rintik-rintik air hujan saat ia telah
membuka mata.
Lalu
diambilnya selembar foto dari dalam dompetnya. Dipandangi foto lelaki itu
dengan seksama. Ary Putra Wijaya telah pergi meninggalkan dirinya untuk bersama
sahabatnya. Namun Tia yakin, hidupnya akan lebih indah seperti cuaca cerah
ceria setelah hujan itu reda. Hujan yang menyisakan jutaan warna pelangi yang
menyejukkan jiwa dan hatinya.