Senin, 27 Mei 2013

cerpen baru ;D

 
IMAJI NISBI
                Dia berbeda. Jika pria lain lebih suka  mengajak ke Dufan atau pergi nonton di 21, ia lebih suka mencuri waktuku dan membawaku ke tempat indah yang kukira selama ini hanya khayalan.
Daritadi ia berjalan di depanku, memimpinku menapaki jalan setapak berbatu. Kanan-kirinya berhias semak-semak dan pepohonan. Selama berjalan itu aku tak fokus pada jalan. Mataku menggerayangi lingkungan sekitar. Pepohonan yang berdiri lumayan rapat, membuat sinar matahari terpaksa menerobos melalui dedaunannya.
Suasana yang senyap membuat bulu kudukku berdiri. Rasa takut mulai menyelimuti dan kakiku telah berkali-kali tersandung bebatuan. Tapi kulihat Bian tetap tenang melangkah jauh didepanku.
Nafasku mulai tersenggal-senggal. Padahal baru 10 menit kami berjalan. Tapi semakin lama jalan semakin tinggi. Aku berhenti sejenak dan mulai menyusul Bian lagi. Setelah berhasil menyusulnya, aku langsung terduduk, tak peduli celanaku langsung bersentuhan dengan tanah.
“Capek Bi, capek,” kataku tersenggal-senggal. Bian hanya diam memandangi jurang yang ada di depan kami. Mataku ikut memandangi jurang itu. Jurang yang terdiri dari tebing-tebing menawan. Di depannya berbaris bukit-bukit hijau yang berkaki hamparan sawah hijau dan kuning.
Sejenak lelahku hilang dan aku mulai berdiri untuk membentangkan tanganku di tepian. Kupejamkan mataku dan kuhirup udara sejuk itu dalam-dalam. Segenap masalahku dan energi negatif seakan ikut hilang saat aku menghembuskan nafas.
“Subhanallah, bagus banget ini Bi!” teriakku penuh dengan bunga-bunga di hati.
Bian hanya tersenyum. Ikut senang melihatku senang.
“Haduh ini dimana Bi? Bandung daerah mana??” tanyaku memberondong Bian.
“Tak perlu kamu tau dimana, yang penting kamu sudah disini,” jawabnya.
“Ah iya! Indah banget disini!” aku termakan omongan Bian yang tak mau memberitahuku nama daerah yang kupijaki ini. Aku kembali terpukau oleh hamparan sawah berwarna-warni yang terbelah aliran sungai jernih yang memantulkan cahaya matahari.
“Daripada pergi nonton atau ke tempat rame, mending disini kan mengagumi ciptaan Sang Ilahi, “ kata Bian membuyarkan keterpesonaanku.
“Tapi kamu curang!” Alis Bian langsung terangkat dan dahinya berkerut-kerut saat kutuduh begitu. “Harusnya kamu bilang mau ngajak aku ke tempat seindah ini! Tau gini kan aku bawa kamera!” aku pura-pura ngambek. Tapi Bian hanya tertawa. Menyebalkan sekali! Memang beda.
“Biasanya kan kamu selalu bawa kamera Cha,” katanya kemudian.
“Kan tadi aku pikir kita mau nonton. Kalau nonton kan gak boleh bawa kamera Bi,”
“Kan kamu tahu sendiri kalau aku gak suka tempat rame?”
Benar juga sih! Sialan! Aku yang pilon ternyata! Kasian kameraku stay at home alone. Tak dapat membingkai view seindah ini.
“Huh! Aku pengen foto Bi!!” teriakku kesal. Maklumlah aku tergolong anak yang narsis. Dikit-dikit foto, sama pohon foto, sama kucing foto, sama pak satpam foto, sama foto juga foto.
“Biarkan momen ini hanya terlukis dihati dan pikiranmu Cha,” katanya pelan tapi cukup mengalihkan perhatianku kepadanya.
“Kenapa?” reflek aku bertanya.
Bian hanya diam saja. Aku sadar pertanyaan yang hanya terdiri dari satu kata itu salah. Ya ampun! Lagi-lagi aku pilon!
Aku dan Bian hanya teman. Teman dekat. Namun kedekatan kita hanya melalui dunia maya dan dibelakang teman-teman sekolah. Bukan karena aku telah bersama Tomi, tapi karena ia pemalu dan pendiam. Pernah suatu kali salah satu teman kami membaca smsku di ponsel Bian, dan tersebarlah gosip yang aneh-aneh. Aku pun harus menjelaskan yang sebenarnya pada Tomi. Untungnya Tomi mempercayaiku namun hubungan baikku dengan Bian mulai merapuh.
Seiring berjalannya waktu, kami mulai dekat kembali dan harus ‘menjaga’ hubungan baik itu dari teman-teman sekolah.
“Maaf Bi, aku tahu kamu gak suka digosipin kayak waktu itu..” kataku.
Bian tersenyum,” Tidak semua kenangan itu harus diabadikan Cha.”
“Iya Bi iya, maaf ya. Aku juga gak suka digosipin kok. Lagian sapa sih yang suka? Emangnya artis?” aku mengambil nafas sejenak, “Apalagi posisiku sama Tomi. Pasti mereka ngiranya aku selingkuh sama kamu.”
“Sudahlah Cha, tak usah dipikirkan omongan orang lain yang membuatmu hancur. Yang terpenting kamu gak seperti yang mereka bilang,” Bian menenangkanku. Aku tersenyum. Dia memang berbeda. Dia sahabat yang benar-benar bisa mengerti keadaanku.
“Aku senang berteman denganmu Cha,” ucapnya kemudian.
“Aku juga Bi. Makasih ya kamu selama ini ada buat aku.”
Kami terdiam beberapa saat. Kemudian Bian berdeham-deham, tapi pikiranku terlalu sibuk memikirkan nasibku yang entah bagaimana rasanya ini.
“Ngomong-ngomong Tomi?” Bian kemudian bertanya.
“Dia yang selingkuh,” aku tak sadar menjawabnya.
“Apa?!” Bian kaget. Baru kali ini ia berkata keras, di dekat telingaku pula.
“Hah? Apa Bi?” lamunanku buyar oleh kekagetannya.
“Katamu tadi?” Bian masih tak percaya.
“Apaan sih?” aku berharap yang kuucapkan tadi salah.
“Tomi selingkuh?” tanya Bian lagi, memastikan.
Ternyata ucapanku benar. Kubenamkan mukaku dalam lipatan tangan yang kutaruh diatas lutut. Air mataku mulai menetes. Tangisku pecah. Dadaku sesak sekali. Sekalipun aku berada di tempat sesejuk ini, aku kesulitan bernafas. Aku sesenggukan. Ciri khas tangisku yang parah.
Tiba-tiba kurasakan hangat pada pundakku. Bian merangkulku! Baru kali ini kami berkontak fisik. Ia berusaha menenangkanku tapi tangisku malah semakin menjadi-jadi.
Tabahkan aku Ya Allah!
“Sudah Cha sudah, jangan dipikirkan,” Bian tetap menenangkanku.
“Dia belum tahu kalau aku tahu dia selingkuh Bi,” ucapku terisak-isak.
“Lalu darimana kamu tahu dia selingkuh?” tanya Bian.
“Kemarin aku liat dia di coffee box sama cewek Bi,” jelasku singkat.
“Adiknya mungkin? Atau kakaknya? Atau malah tantenya? Mamanya? Posthink dulu dong Cha,” Bian terus menenangkanku.
“Cewek itu Tina Bi..” aku reflek mengangkat mukaku dan melihat wajah Bian. Meyakinkan dia bahwa Tomi benar-benar selingkuh. Dengan Tina, temanku sendiri.
Aku segera mengusap air mataku yang membasahi seluruh wajah dan mencoba tetap tersenyum.
“Lalu sekarang gimana?” tanyanya. Aku hanya menggelangkan kepala.
“Semua terserahmu Cha. Saranku apapun tindakan yang kau ambil, pikirkan baik-baik dan selesaikan dengan baik-baik juga. Jangan bawa emosi,”
Aku mengangguk. Bukan hanya karena paham dengan ucapan Bian, tapi telah menemukan tindakan yang harus aku pilih.
Selama ini Tomi hanya mempermainkanku dengan menjadikanku kekasih semu dan kemudian berkencan dengan sahabatku sendiri.
Dan selama ini juga seharusnya aku sadar bahwa aku telah memiliki Bian yang selalu ada untukku. Yang selalu membantuku, yang selalu menghiburku dan menemaniku. Sekalipun tak ada hubungan spesial diantara kami, aku tak perlu lagi mencari karena aku telah menemukannya, karena dia telah bersamaku sekarang.
“Pacaran itu tak penting Cha, malah membuat kita rugi. Cukup selalu ada untuk menemani kita dan memperhatikan kita dengan sewajarnya, “ aku terpaku mendengar ucapan Bian. “Dan yang terpenting, Echa masih punya Allah. Dan Bian selalu ada buat Echa,” lanjutnya liri